Rabu, 28 Agustus 2013

Children Record II

Children Record II 
Di dalam ruangan yang menggemakan suara tik-tok dari jam dinding.
Waktu kini hampir menunjukkan jam 9 malam. 

Lampu yang tergantung diberbagai penjuru langit-langit ruangan, menerangi ruangan itu dengan cahaya yang tidak terlalu menyilaukan namun tidak terlalu redup, menjadikannya tempat yang sempurna untuk ditinggali.

Di dapur terdapat Kido yang dengan cekatan sedang mencuci piring bekas makan 6 orang. Tumpukkan piring-piring dengan rapi tersusun di lemari. 

Dari arah seberang sofa tempatku duduk dimana meja diletakkan diantaranya, Konoha yang baru saja menyelesaikan makanannya sedang bertarung dengan kelopak matanya agar tidak menutup, dia mengantuk dan ingin tidur, tapi dia berkata “Jangan, jangan” dan tetap bertarung dengan kelopak matanya yang kini semakin berontak.

"Nnnnyyaamm…… nggak bisa makan lagi……… ah, gaa bisah maam lajiee………"

Sedangkan disamping kiriku, adik perempuanku yang menyedihkan meneteskan air liur sambil tertidur lelap dengan wajah yang bahagia.

.....Tunggu dulu. Apa yang kami lakukan? Memangnya mereka itu anak-anak apa? Atau mungkin Kido lah yang benar-benar terlihat seperti ‘ibu’ sekarang? 

Yang benar saja, sejak kapan ini menjadi seperti pesta piyama di rumah teman?

Bahkan sampai pagi ini aku masih menggerutu dan berpikir ‘Siapa mereka? Sangat mencurigakan’ kepada Mekakushi Dan, tetapi baru sehari kami bersama aku sudah akrab dengan mereka.
Bahkan diriku yang termasuk tipe sulit untuk berbicara kepada orang lain dalam periode yang agak lama bisa akrab dengan mudahnya, mereka benar-benar ramah untuk dikategorikan sebagai orang yang baru sehari ditemui.
“Dia bahkan makan di dalam mimpinya. Wow, imouto-san benar-benar hebat....ngomong-ngomong imouto-san langsung tidur setelah makan, ini artinya apa Master?"

“Abaikan saja dia. Bukankah kalau seperti ini artinya Momo sama dengan sapi?" Mungkin karena kelelahan, setelah menyelesaikan makanannya dia langsung tidur.

“Dia bahkan marah saat dipanggil gendut, ada apa sih dengan anak ini....” Kupikir dia sudah lupa dengan fakta akan dirinya yang gendut seperti ibu hamil, biarpun dia berkata “Aku bahkan belum menikah, onii-chan terlalu melebih-lebihkan....” namun kenyataan berkata lain. 

“Ah, tidak seburuk itu kok. Mungkin saja dia terlalu lelah. Hei Kisaragi, bangun. Kalau kau mau tidur pergilah ke kamarku.” 

Setelah mencuci piring Kido melepaskan apronnya yang bertuliskan “” di depannya—yang membuat terlihat seperti pekerja bangunan dan berjalan ke arah Momo. 

Dia dengan lembut menepuk wajah Momo, tapi Momo hanya berkata “Ehh~ sepertinya aku masih bisa makaaan…….” dan melanjutkan makan besarnya dalam mimpi. 

“Ah~ maaf. Setelah anak ini tidur dia tidak akan pernah bangun sampai pagi tiba. Biarkan saja, tidak apa-apa kok.”
“Tapi, ini tidak baik. Yah, tak ada pilihan lain selain menggendongnya....Hmm!?”

Saat Kido ingin menggendong Momo, ekspresinya sedikit berubah layaknya telah menemukan sebuah fakta yang sangat menakutkan. 
 
“Mengejutkan....Kisaragi...be-berat....!” 

Kido mencoba menggendong Momo, tapi dibandingkan dengan kemudahannya saat mengangkat Hibiya, kini nafasnya langsung terengah-engah dalam hitungan detik.

Ngomong-ngomong, aku pernah membaca profil Momo yang diupload di situs idola, disitu tertulis ‘berat’nya yang membuatku tidak bisa menahan tawa pada saat itu. 

Melihat bagaimana Kido yang dengan susah payah melangkahkan kakinya seraya menggendong Momo, sekarang Konoha lah yang gantian mendengkur di sofa. 

Pemuda ini benar-benar tidak bisa dipercaya. Dari wajah tanpa ekspresinya, sangat sulit untuk mengerti apa yang dia pikirkan. 

Dia sekarang ada dirumah orang yang baru saja dikenal, tapi tidak merasa was-was sama sekali dan dengan tenangnya tidur lelap seperti itu. 

………………….. seperti anak kecil yang tiba-tiba tumbuh besar. 

Melihat perlakuan Hibiya padanya, sepertinya mereka terlibat suatu ‘insiden’ yang rumit. 

Tidak, tidak hanya mereka berdua saja, Ene, Mekakushi Dan juga, sepertinya ada sesuatu yang terjadi pada mereka yang sulit untuk dijelaskan secara gamblang.

Aku agak lupa, tapi saat melihat wajah Ene tadi aku kembali teringat, kalau mungkin saja ada sesuatu yang terjadi di masa lalunya juga. Sampai-sampai menyembunyikan identitas aslinya seperti itu, dia benar-benar hebat dalam melakukannya.

‘Sebelum dia datang kepadaku, apa yang terjadi padanya?’ Bukannya aku tidak pernah memikirkannya, tapi biarpun menanyakan hal itu kepadanya dia paling hanya akan mengalihkan topik pembicaraan.

Tiba-tiba saat aku perlahan melihat layar HP, Ene yang tidak mungkin bisa mengetahui pikiranku barusan, dengan semangat menyiapkan selimut. 

“......Apa yang kau lakukan.” 

“Eh? Aku cuma bersiap untuk tidur. Kenapa?” 

"Ah, aahh begitu ya."

Terdengar suara pintu yang tertutup, Kido lalu berkata sambil memutar-mutar bahunya.

“Ngomong-ngomong, akan lebih baik jika Kisaragi bisa mengurangi nafsu makannya.” 

“Haha, maaf ya, sudah banyak merepotkan kalian hari ini.” 

“Tidak, kami juga tidak keberatan kok. Jangan pikirkan. Tapi hari ini....benar-benar banyak yang terjadi.” 

Gerutu Kido sambil mendengus, dan duduk di sofa berseberangan denganku.

Untuk saat ini yang masih bangun hanya aku, Kido, dan Ene. Konoha yang sedang tertidur dengan pulas terbaring di sofa disamping Kido, dengan kedua tangan terlentang.

“Arara, sepertinya 'Nisemono-san' sudah tidur~ nyenyak sekali.” 

Ene mengintip dari selimutnya, hanya menyembulkan wajahnya, dan menggerutu sambil menatap wajah Konoha.

“Apa itu ‘Nisemono-san'?"
 
"Erm. Itu nama panggilan untuk pemuda itu. Terlalu mudah untuk salah memanggil namanya jadi aku memutuskan memanggilnya seperti itu."

“Ah, soal dia yang sangat mirip dengan temanmu kan. Ngomong-ngomong, temanmu itu sebenarnya.....” 

Saat aku hampir ingin melontarkan pertanyaanku, Ene langsung melototiku dengan tajam. 

“A-ada apa sih...Ah~ Aku tahu, aku tahu. Asalkan aku tidak menanyakannya kan....?” 

Saat aku mengatakan itu Ene tersenyum puas. 

“Untunglah Master mengerti. Aku pun masih kebingungan, tapi saat sudah mengerti semuanya aku akan menjelaskannya pada Master suatu saat nanti.”

Dan sekarang dia terlihat agak sedih. 

Seperti biasa dia menghindarinya, tapi mendengar kata ‘akan menjelaskan nanti’ dari dirinya, kurasa baru pertama kali ini ia mengucapkannya.

Tunggu dulu, kalau ini Ene...mungkin dia mengatakannya cuma untuk main-main. 

“Yah, setiap orang memiliki masalah yang tidak ingin diceritakan. Hei, aku berpikir untuk menanyai orang itu makanya dia aku bawa kemari, tapi.....” 

Kido melihat kesampingnya, Konoha telah tertidur dengan sangat-sangat lelap. Untuk apa semua pertarungannya melawan kantuk, kalau pada akhirannya dia tetap kalah. “Haa...” bersamaan dengan helaan nafas Kido. Konoha akhirnya terjatuh dari sofa ke lantai. 

“Kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk sekarang. Yah, sebenarnya kita sama sekali tidak bisa melakukan apa-apa sekarang.” 

Kido dengan berat bersandar di sofa, melipat tangannya, dan menyilangkan kakinya. 

“Besok...ya. Anak itu, bagaimana keadaannya?” 

“Hmm? Ah, maksudmu Hibiya kan? Yang muncul dimatanya itu, kurasa adalah tanda dari adanya ‘kemampuan’ seperti kami.” 

Kido berkata sambil menatap langit-langit. 

Rupanya Hibiya masih belum bangun, tapi sepertinya dia tidak dalam kondisi yang tidak stabil. Seto yang mengerti apa yang telah terjadi dengan suka rela merawatnya untuk jaga-jaga. Itulah situasi sekarang. 

“Begitukah....yah, karena Seto lah yang merawatnya, kurasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” 

Aku tanpa sadar menatap salah satu dari bohlam lampu di langit-langit bersamaan saat aku mengatakannya, tapi Kido hanya tertawa dengan pelan. 

“Tidak tidak, Seto memang bisa diandalkan tetapi dia juga punya kelemahan. Mungkin saja dia sedang tidur sekarang.” 

Saat pertama kali aku bertemu Seto, dia memancarkan aura ‘dapat diandalkan’, tapi ada juga sesuatu yang orang seperti Kido—yang telah mengenalnya lebih lama—ketahui selain itu. 

Bukan salahku, aku baru saja bertemu dengannya pagi ini jadi tidak mungkin aku bisa mengerti dirinya dengan baik.

“Hei, kalian semua itu....” 

“Hmm? Apa?” 

Kido memperlihatkan wajah bingung dan melihat ke arahku yang menghentikan perkataannya di tengah-tengah. Tidak apakah aku menanyakan hal seperti ini? Apakah aku bisa bersikap seperti biasa lagi setelah menanyakan ini? Bersamaan aku memikirkan itu aku mulai merasa mengantuk, dan perlahan mulutku terbuka. 

“Mata yang kalian punyai itu....sebenarnya aku tidak tau apakah boleh aku menanyakan ini, tapi....itu sesuatu yang tidak biasa bukan? Sama juga dengan keadaan Momo. Dia bilang tidak ingat sejak kapan dia menjadi seperti itu, tapi kurasa ini bukan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan kalian.” 

Menanggapi pertanyaanku yang blak-blakan, Kido terlihat kebingunan saat masih mendengarkannya tapi setelah aku menyelesaikan perkataanku dia tersenyum dengan hangat.

“.....Harusnya aku lebih dulu memberitahukannya kepadamu sebelum pemuda ini. Maaf.” 

Kido membungkukkan badannya kedepan dan merapatkan jarinya sambil meletakkan kedua telapak tangannya dipahanya.

“Eh, tidak. Tidak apa-apa. Aku hanya merasa perlu mengetahuinya...” 

Wajahku tiba-tiba memerah dan mengalihkan pandanganku. 

“Tidak, aku harusnya menjelaskannya kepadamu....hanya saja seperti yang kau katakan, ini bukan pembicaraan yang biasa, bukan sesuatu yang dengan mudah bisa kau bicarakan. Karena kemampuan ini kami pernah dianiaya. Oleh karena itu, demi melindungi diri sendiri kami tidak bisa menceritakannya begitu saja.” 

Bersamaan dengan perkataan Kido, aku sedikit mengangkat kepalaku.

Dia tidak terlihat sedih, sorot matanya tidak menyiratkan kegelapan sedikit pun. Yang ada hanya sebuah tekad yang kuat di dalamnya. 

 “Y-yah..itu... kalau itu bukan sesuatu yang tidak seharusnya kuketahui..yah.. ti-tidak apa-apa sih.”

Benar juga. Setelah mengetahui apa yang terjadi dengan mereka, apa yang bisa kulakukan? Itulah mengapa aku menghentikan perkataanku di tengah-tengah. 

Kenapa aku tertarik untuk mendengarnya?

Apa yang bisa kulakukan? 

‘Insiden’ dimana Hibiya terlibat, yang menurutnya kematian telah terjadi.

Dimana polisi bahkan mungkin tidak bisa memecahkannya.

Kemampuan Hibiya akan terbangun seiring dengan berjalannya waktu dimana Kido dan yang lain melindungi serta membantunya menguasai kemampuan itu.

Apakah yang bisa kulakukan? 

Tidak apakah menanyakan hal ini? 

Jika sekarang aku tidak bertanya, besok pagi aku hanya akan kembali ke rumah seolah tidak terjadi apa-apa dan kembali dengan kehidupanku yang semula. Aku diberi kesempatan untuk melakukan pilihan itu.

Benar, ini tidak ada hubungannya denganku. Aku hanya.... 

‘Mencoba untuk lari lagi?’ 

Pada saat itu punggungku merinding. Hatiku perih seperti diremas-remas oleh sesuatu dan dahiku perlahan mengeluarkan keringat dingin. 
 
“Shintaro? Oi, kau tidak apa-apa? Kau sepertinya pucat.....” 

“Ah, ah. Tidak, aku tidak apa-apa. Maaf yah.” 

“....begitu ya. Mungkin kau juga terlalu lelah. Mari lanjutkan ini besok saja, oke?” 

Besok, apakah aku masih bisa berada disini? Ene bahkan berkata “Ayo pulang.” tadi. Mungkin sedikit...tidak, mungkin saja dia khawatir denganku. 

Tapi, tapi........ 

“....tidak, sedikit saja tidak apa-apa. Tolong beritahu aku.” 

Jika aku kembali ke ruangan itu—dimana aku memulai hidup sebagai hikikomori—tidak akan ada lagi yang bisa kulakukan. 

Mungkin, mungkin ini karena aku tidak ingin meninggalkan mereka. 

Mungkin aku takut untuk sendirian lagi. 

“Aku mengerti. Akan kuceritakan, bagaimana aku bisa mendapatkan kemampuan ini.” 

Kido yang mengerti, tersenyum dan menutup kelopak matanya sesaat kemudian iris hijaunya berubah warna menjadi merah.

“Kemampuan mata untuk menyembunyikan....Kano menyebutnya seperti itu, intinya adalah mengurangi hawa keberadaanku dan sekitarku."

Sambil berbicara Kido mengambil majalah dari samping meja dan memberikannya kepadaku, lalu majalahnya mulai menghilang perlahan dari ujungnya, dan pada akhirnya menghilang tanpa ada bekas. 

Saat melihatnya, aku kembali mengerti bahwa kemampuan mereka benar-benar menakjubkan. Pantas saja Kido tidak bisa mengatakannya dengan blak-blakan. 

Kemampuan ini, jika publik mengetahuinya para pekerja di bidang media massa pasti akan sibuk selama beberapa hari setelahnya. Pada akhirnya dia akan dibawa ke pusat penelitian atau apalah dan mungkin akan terjadi sesuatu yang sangat tidak diinginkan. 

“Sebelum mendapatkan 'mata ini', aku juga mempunyai orang tua tapi tidak mempunyai hubungan darah dengan ibuku. Ayahku kejam, dia adalah playboy yang perusahaannya bankrut. Sebelum meninggal dia bahkan membakar seluruh rumah.”

“A-apa.....” 

Ekstrim sekali mendengarkan masa lalu Kido hanya dalam beberapa detik. Tetapi Kido tidak terlihat sedih karenanya, dia hanya menunjukkan ekspresi ‘yah itu pernah terjadi’ dan berbicara dengan tenang seperti ketika sedang membicarakan masa kanak-kanak yang normal.

“Haha. Cerita yang menyedihkan bukan? Tapi, pembicaraan sebenarnya dimulai sekarang.” 

"Oh, oh………"

“Saat ayahku membakar rumah, aku sekeluarga berada di dalam rumah. Pada akhirnya aku dan kakakku tidak bisa kabur dari rumah."

“K-kalian bisa-bisa mati..."

Sebenarnya aku agak takut saat mendengarnya. Kido yang sepertinya menyadari hal itu— membuat seringai jahat dan melanjutkan.

“Ahhm tentu saja aku mati. Sedikit demi sedikit aku mulai tidak bisa bernapas, bahkan badanku juga terbakar.” 

"EEK…………….."

“Lalu pada saat itu aku melihatnya. Dindingnya berubah dan terpisah, MENJADI SEPERTI MULUT BESAR YANG TERBUKA LEBAR DENGAN TARING YANG TAJAM.” 

"UWAAAHH!!!"

Kido bercerita dengan semangat seperti sedang menceritakan cerita horor.

Sialnya itu adalah timing yang bagus karena dia sukses membuatku takut.

Dan ditakut-takuti oleh orang yang pingsan saat siang bolong di rumah hantu, membuatku merasa diriku sangatlah menyedihkan.

Tetapi setelah rasa penasaranku kembali, Kido tidak melanjutkan ceritanya. Dia hanya melipat tangannya dan terlihat senang, raut wajahnya seolah mengatakan 'bagaimana ceritaku?'.

“Ja-jadi?” 

Akhirnya aku bertanya, Kido tidak merubah posenya dan dengan ceria menjawab. 

"Hmm? Selesai."

"HAH?"

Seakan baru sadar telah dikerjai, aku hanya bungkam seketika.

Menurut ceritanya, Kido seharusnya sudah terbakar seluruh tubuhnya, lalu dia hampir dimakan makhluk besar yang misterius. Tapi gadis di depanku ini sama sekali tidak terlihat pernah terbakar ataupun ditelan hidup-hidup, aku bahkan tidak bisa menemukan relasi dimana ceritanya yang mendekati akhir malah ngaco.

“JA-JADI APA HUBUNGANNYA DENGAN KEMAMPUANMU?!”

“Ahh, aku mendapatkannya setelah terbangun dari puing-puing rumahku. Entah bagaimana luka bakar yang seharusnya ada menghilang tanpa bekas. Benar-benar tidak dapat dipercaya.”

“La-lalu bagaimana dengan monster itu?”

“Aku hanya melihatnya, ingatanku setelah itu kosong. Mungkin saja aku benar ditelan. Satu-satunya yang selamat disitu hanya aku saja, bagaimana caranya aku juga tidak tahu."

Kido mengangkat tangannya dan membuat isyarat ‘aku menyerah soal itu'.

Pada akhirnya biarpun aku mendengarkan seluruh ceritanya, banyak sekali bagian yang tidak bisa  kupahami, dan misteri ini hanya akan bertambah rumit dari sebelumnya.

“Begitu kah....berarti kamu pun juga tidak mengetahuinya.”

“Ahh. Tentu saja aku berencana untuk menyelidiki apapun yang bisa kuselidiki....ini sedang dalam proses. Dulu juga aku pernah ‘mencoba’ menjelaskannya kepada polisi, tapi mereka tidak percaya sama sekali.”

Wajar saja, mana ada yang mau mempercayai cerita yang sepintas terdengar konyol ini.

Aku mengerti, jika insiden Hibiya mirip dengan Kido dan yang lainya, berarti bukan keputusan yang bijak untuk memberitahukannya pada polisi. 

Kido membawanya kesini dan mengatakan kalau dia akan membantunya karena Hibiya mirip dengan dirinya yang di masa lalu.

‘Tidak bisa membuat polisi percaya’. Memang benar itu kenyataan yang sulit ditelan begitu saja.

Ngomong-ngomong, bagian paling aneh di cerita itu adalah bagian ‘monster mulut besar’ yang menelan Kido. Selain itu meski ceritanya sangat menyedihkan, tapi itu tidak memiliki hubungan dengan permasalahan yang sedang kami hadapi. Cuma bagian ‘mulut besar’ itu saja yang bisa dihubungkan dengan ‘kemampuan aneh’ mereka.

“Bagaimana dengan yang lainnya? Apakah Kano dan Seto tertelan oleh si ‘mulut besar’ juga?”

“Kano berkata ‘aku juga melihat hal yang sama’, tapi setelah itu dia kehilangan ingatannya sama sepertiku. Untuk Seto dia mendapatkan kekuatannya setelah tenggelam di sungai, jadi dia tidak yakin apakah dia melihatnya atau tidak.”

Saat Kido berkata ‘tenggelam’, aku tiba-tiba kembali mengingat kenangan masa remajaku yang samar bagai tertutup kabut. Kenangan yang terkadang aku ingat kembali, tetapi setelah mendengarkan cerita Kido ingatan itu menjadi tertutupi oleh perasaan yang lebih menyesakkan dari sebelumnya.

“....Momo menjadi seperti ini, mungkin saja setelah dia tenggelam di laut.”

“Maksudmu Kisaragi?”

“Ahh, benar.....tapi kuharap kamu tidak mengatakan ini di depan Momo. Pada saat itu....bahkan ayahku yang mencoba menyelamatkannya....”

Pada waktu itu, ayahku yang mencoba menyelamatkan Momo telah diperingatkan oleh banyak orang. Tetapi saat ayahku berenang ketempat Momo, mereka berdua ditelan ombak.

Saat mendapatkan berita itu dari ibuku aku sedang dalam les tambahan, dan setelah dengan berbagai cara yang dilakukan untuk mencari tetap saja mereka tidak ditemukan. Pada hari kedua biarpun ayah tidak pernah ditemukan, Momo ditemukan selamat dipantai.

“Begitu ya...aku mengerti. Ini memang sesuatu yang lebih baik tidak dibahas di depan Kisaragi.”

“Terima kasih telah mengerti. Hanya saja, aku kepikiran sesuatu setelah mendengarkan ceritamu.”

Benar, pada bagian dimana Momo tenggelam ada sesuatu yang mirip dengan cerita Kido.

Momo ditemukan keesokan harinya. Jika mungkin saja Momo ada dilautan selama kurun waktu tersebut sebelum dia ditemukan...

Jika kita pikirkan itu, mungkin saja...tetapi apakah manusia bisa bertahan hidup pada situasi seperti itu?

Tidak, tidak mungkin. Hanya keajaiban saja yang bisa membuatnya terjadi, namun dalam kasus ini jika kata keajaiban dimasukkan dalam kemungkinan itu akan menjadi tidak masuk akal.

Kenapa aku berkata seperti itu? Karena jika kita memikirkan ‘mulut besar’ yang Kido sebutkan, maka semua akan jadi jelas.

Pada waktu Kido terbakar, waktu Momo tenggelam, kedua-duanya tertelan oleh ‘mulut besar'. Bagaimana dengan penjelasan yang satu ini? 

Jika pada waktu itu mereka berdua terperangkap di dalam situ, lalu setelah dimuntahkan barulah mereka ditemukan.

Memang ini hipotesis yang gila, tapi bukankah ‘kemampuan mata’ Kido dan Momo sudah menjadi bukti kuat untuk hipotesis ini?

“Kemampuan mata kalian itu, jika penyebab kalian memilikinya adalah si ‘mulut besar’. Mungkin saja Momo juga pernah ditelan olehnya....tidak, biarpun ini hanya hipotesis gila.”

Ini MEMANG hipotesis yang gila, tapi bahkan akal sehat pun akan tidak berguna untuk memecahkan kasus ‘kemampuan mata’ mereka.

Jika disuruh mengambil kesimpulan dari semua yang terjadi pada mereka, aku hanya bisa berpikir kunci dari masalah ini adalah ‘mulut besar’ itu.

Kehidupan masa lalu mereka yang ternyata tidak sebaik perkiraanku adalah akar dari semua kemampuan yang tidak masuk akal ini......

“Mhmm, kami semua memang pernah ditelan. Tapi jika menambahkan apa yang terjadi dengan Momo juga, penyebab kemampuan ini bangkit sudah pasti ‘itu’. Belum lagi Kano juga berkata dia melihat hal yang sama, untuk sekarang kita asumsikan saja begitu. Hanya saja.....”

“Hanya saja?”

Seperti memikirkan sesuatu, Kido meletakkan jempolnya ke ujung bibirnya.

Seperti sedang berusaha memecahkan teka-teki, dia menatap ke meja untuk beberapa lama.

“Hanya saja ini membuat kami frustasi. Sama seperti Momo, kami hampir mati bersama ‘seseorang’. Kudengar Kano bersama ibunya, dan Seto bersama dengan seseorang yang sepertinya temannya. Lalu jadilah seperti ini."

Kido mengatakan itu sambil menatap meja seperti masih memikirkan sesuatu.

“Tetapi, yang terselamatkan hanyalah kami. Sepertinya orang yang bersama kami telah ‘menghilang’ entah bagaimana.”

Setelah mendengarkan Kido, sedikit demi sedikit aku mulai mengerti.

“Hei, saat rumahmu kebakaran, keluargamu....apakah tubuh mereka ditemukan?”

“Ahh, mereka ditemukan. Tapi hanya tubuh ayah dan ibuku. Tubuh kakakku tidak ditemukan. Satu-satunya yang ditemukan hidup direruntuhan itu hanyalah aku.”

“Itu berarti.....”

Kejadian pada waktu yang sama. Kemampuan mata. ‘Mulut besar’.

Dan menurut Hibiya, dia berkata, “Ada perempuan yang sangat penting bagiku. Mungkin dia sudah mati. Hanya aku saja yang selamat jadi aku harus menyelamatkannya juga.” kesimpulan mulai muncul dari otakku.
“Kalian semua tertelan ‘sesuatu’ bersama seseorang, dan selanjutnya hanya kalian yang kembali dan mendapatkan kemampuan....?”

Kido langsung melanjutkan perkataanku seperti telah mengerti apa yang ingin kukatakan.

“Dan mereka yang bersama dengan kami juga tertelan tetapi tidak ditemukan sampai sekarang. Jika begitu, kemungkinan besar mereka masih ditelan didalam situ.”

Kebenaran tidak terduga dan gila ini mungkin saja hanya kebetulan, tapi ini adalah kesimpulan yang masuk akal. Kemampuan Momo, menghilangnya ayahku, ‘kebenaran’ yang terungkap. Perlahan, kumpulan puzzle yang berantakan mulai tersusun rapi.

“Sebenarnya kami pernah memikirkan kemungkinan itu. ‘Mungkin didalam [Mulut] itu, orang-orang tercinta kami masih ada di dalamnya’, kami mempercayai itu dan berusaha keras untuk menemukan kebenarannya. Tetapi, kunci terpenting yaitu ingatan kami tentang apa yang terjadi di dalam ‘situ’ hilang tanpa bekas.....”

Kido kembali menghembuskan napas dan bersandar pada sofa. Kehilangan orang tua, keluarga, orang tercinta, dan sekarang hidup seperti ini, mereka benar-benar melalui masa yang sulit.

Mungkin mereka merasa kesepian karena kemampuan aneh itu, mereka selalu dianiaya.

Dengan kehidupan seperti itu, aku ingin tau bagaimana perasaan mereka setelah terus mengalaminya.

Diriku yang tidak bisa membayangkannya—yang selalu hidup dengan bebas sesuai keinginanku, merasa tidak bisa dibandingkan dengan mereka.

Memang benar. Diriku yang dengan mudahnya menyerah dan memilih kesendirian, bagaimana bisa aku mengerti perasaan mereka?

Dan karena mereka mengetahui ‘sesulit’ apa situasi ini untuk dihadapi sendirian, mereka mengatakan kepada Hibiya yang juga mengalaminya,“Kami akan membantumu.”

“Yah, kalau begitu untuk sekarang kita simpulkan saja proses untuk mendapatkan kemampuannya masih tidak diketahui. Untuk sekarang, sebelum Hibiya bisa mengkontrol kemampuannya kita harus membantunya. Karena kitalah yang sudah biasa menghadapi masalah yang seperti ini.”

Kido selesai berkata bersamaan dengan berubahnya suasana yang tegang menjadi tenang.

“Aku tidak tahu apakah anak perempuan yang tertelan bersamanya selamat atau tidak, tapi lebih baik kita mencari tahu sedikit demi sedikit.”

"TUNGGU SEBENTAR!"

Kido baru saja ingin menghentikan pembicaraannya, tapi pembicaraan ini masih belum berakhir.
Seakan telah yakin—yakin karena jalan yang akan membimbing kami menuju kebenaran sedikit lagi berada di depan mata.

“Kamu berkata kalau ‘tidak mengingat apapun yang terjadi disitu’ kan? Kupikir tadi kamu mengatakan kalau ‘semuanya sama’.”

 “Ahh, iya. Memang benar. Kami hanya bisa mengingat satu hal setelah kami terbangun.”

Kido terlihat seperti tidak tau apa yang ingin kukatakan, dan menjawab dengan suara yang agak ragu.

“Tidak, seharusnya lebih dari itu. Hibiya bahkan berkata Konoha ‘hanya berdiri disitu dan melihat saja’. Mungkin saja anak itu.....”

Saat aku mengatakan itu mata Kido terbuka lebar dan mulai mengerti apa yang kumaksud.

“Dia ingat bukan? Hal yang terjadi saat dia tertelan di dalam situ.”

Saat aku berhenti berbicara Kido langsung berdiri dan berjalan ke suatu tempat.

“O-oi, mau kemana? Bukankah anak itu sedang tidur sekarang!?”

Dan setelah dia mendengarku, Kido tiba-tiba berhenti dan kembali duduk di sofa.

Mungkin dia menjadi malu dengan tingkahnya yang tiba-tiba itu, wajah Kido memerah dan menundukkan kepalanya.

Tingkah seperti itu jika dibandingkan dengan gaya bicaranya tadi membuatku jadi mengingat ‘Ahh, orang ini adalah seorang perempuan.’ kata-kata yang jika kukatakan dengan terus terang pasti akan membuatku dihantam seperti Kano.

“Yah kau benar, bahkan aku juga...setelah bertahun-tahun tidak pernah melihat ayahku, jika aku bertemu dengannya lagi....”

Apa yang harus kulakukan saat kami bertemu?

Apa yang harus kukatakan?

Melihat anaknya berubah menjadi hikikomori selama bertahun-tahun lamanya sampai jadi menyedihkan seperti ini. Apakah yang akan ayahku pikirkan?

"Shintaro?"

“Eh? Ahh, maaf maaf.....kalau begitu kita lanjutkan besok. Sepertinya Kano tidak pulang-pulang ya.”

Ada berbagai macam jam mulai dari jam burung sampai jam digital di seluruh tempat di markas. Bahkan di lemari kecil ada semacam mesin yang meneteskan sejenis carian, mungkin itu juga jam. Semua jam itu dengan caranya masing-masing menunjukkan pukul 10.30 malam.

“Hmm, yup. Apa yang orang itu lakukan ya....Tapi ngomong-ngomong hari ini adalah hari yang melelahkan. Banyak hal yang terjadi dan disini bertambah ramai."

Kido memutar matanya kearah pintu dengan nada cuek tapi dia tidak bisa menyembunyikan rasa senang dalam kata-katanya.

“Menjadi ‘danchou’ itu, sepertinya melelahkan yah.”

Saat aku mengatakannya mungkin tanpa sengaja aku membuatnya malu, wajah Kido menjadi lebih merah dari sebelumnya.

“BE-BERISIK! Jangan memanggilku seperti itu terus! A-aku akan tidur sekarang, oke!?”

Setelah mengatakan itu, tingkah Kido yang sebelumnya ceroboh sekarang jadi sangat gelisah sampai-sampai saat dia berdiri menimbulkan suara nyaring ‘braak’, dan berjalan ke kamarnya.

Aku tidak bisa berkata apa-apa saat melihat sosoknya yang sedang berjalan,  tapi Kido tiba-tiba berhenti dan berbalik “Kau bisa menggunakan selimut bersama Konoha, aku sudah menaruhnya disitu.” lalu menunjuk selimut yang bertumpuk di samping pintu masuk, kemudian dengan cepat masuk ke kamarnya.

“Ada apa sih dengannya, dasar....”

Tidak peduli se-tomboy dan seserius apapun dia tetaplah perempuan. Dan perempuan adalah makhluk yang sulit dimengerti maka aku memutuskan untuk berhenti memikirkannya.

Tidak butuh waktu lama bagi tubuhku untuk mencapai batasnya dimana rasa kantuk mulai menyerang.

"Hoaam……. Aku lelah sekali……….."

Aku berdiri dari sofa dan seperti yang sudah kuduga badanku terasa berat saat kucoba berjalan.

Setelah sampai di tempat selimutnya, aku mengambil dua dari tumpukan paling atas dan kembali ke sofa.

Setelah menyelimuti Konoha yang tertidur di lantai seperti mayat, aku baru sadar belum menanyakan pada Kido dimana tombol lampunya.

“Uhm...dimana, tombolnya dimana.”

Kemudian aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan, namun aku tidak kunjung menemukan sesuatu berbentuk persegi yang menyerupai tombol.

Ahh, ini menyebalkan sekali. Aku benar-benar ingin tidur sekarang, apa yang harus kulakukan? Jika aku tidur dengan lampu menyala maka aku akan....

Ditengah kesibukanku mencari tombol lampu, aku merasakan seseorang bernafas tepat dibelakangku.

Aku berbalik dan terkesiap, disitu berdiri Mary dengan rambutnya yang berantakan tidak karuan seperti hantu serta memakai gaun putih yang tebal. Dia melihatku dengan curiga.

“......Apa yang kamu lakukan? Shintaro.”

Jika Shintaro diberi tatapan intens yang tajam dari seorang gadis maka keringat dingin akan bercucuran dari tubuhnya

Otakku yang masih dalam masa memproses situasi ini memberikan penjelasan. Meski aku tidak melakukan hal yang salah namun seperti penjelasan tadi. Aku mengeluarkan keringat dingin dan menjawab dengan gugup.

"O-ohh!! MARY!! Tidak ada apa-apa, aku hanya mencari tombol lampunya, tapi aku tidak bisa menemukannya!"

Setelah aku mengatakan alasanku, Mary kembali terlihat seperti biasanya dan menunjukkan sasaran panah berbentuk lingkaran dengan macam warna di dinding.

“Tombolnya ada disitu. Tekan saja tengahnya.”

Aku menghembuskan napas lega dan menekan bagian tengah dari sasaran panah itu seperti apa yang Mary katakan, dan dengan suara 'ka-cha!'semua lampu mati.

"AA, AAAAAHH! JANGAN TIBA-TIBA MEMATIKAN LAMPUNYA!"

Mary yang tiba-tiba berteriak membuatku terkejut sampai aku bisa merasakan jantungku terpompa sampai keluar dari mulutku, aku cepat-cepat menyalakan lampunya lagi dan Mary kembali melihatku dengan tatapan curiga, air mata mulai mengalir dari ujung matanya.

“......Apa yang kamu lakukan?”

“Ti-tidak ada! Aku hanya mencobanya, oke!? Uhm…… ARGH! Maaf maaf!"

Ahh, ini SANGAT menjengkelkan. Aku sangat ingin tidur SESEGERA MUNGKIN, dan kenapa hal seperti ini harus terjadi.

“Aku mengerti......”

Mary berbalik arah dan menuju ke kamarnya.

Kenapa Mary terbangun? Aku ingin menanyakannya tapi dia sudah pergi. Lebih baik aku tidak melakukan hal-hal aneh lagi—meski menurutku itu tidaklah aneh.

“Se-selamat tidur~”

Aku melambaikan tanganku padanya, setelah memastikan Mary sudah masuk kamar aku kemudian mematikan lampu.

Haa....kuhembuskan napas dengan berat dan merebahkan tubuhku di sofa.

Aku berbaring, menyelimuti dirikudan melihat HP seperti biasanya. Sepertinya Ene masih di dalam selimutnya seperti sebelumnya.

“Anak yang menjengkelkan.”

Kukatakan tapi tidak ada jawaban darinya.

Aku meletakkan HP di meja dan menutup mataku.

Di kegelapan, hanya ada gema suara AC.

Jika kuingat lagi, meski hanya terjadi dalam sehari namun bagiku terasa seperti berhari-hari lamanya.

Aku baru saja bertemu dengan anggota Mekakushi Dan pagi ini....bukan, lebih tepatnya aku bertemu dengan mereka di mall, tapi mereka adalah orang-orang yang mudah sekali akrab denganku dalam waktu yang sangat sebentar. Kalau kupikir baik-baik ini baru pertama kalinya hal seperti ini terjadi.

Diundang ke rumah seorang teman, makan bersama, menceritakan kisah masing-masing, sambil membicarakan rencana untuk esok hari.

Hanya memikirkan itu saja, rasanya sudah seperti berkumpul bersama teman-teman yang normal di hari-hari yang normal pula.

Biarpun ini agak aneh, aku tidak pernah berpikir kalau kesempatan seperti ini akan diberikan kepadaku.
......apakah tidak apa-apa seperti ini..? Maksudku...

Lebih banyak kesenangan yang kutemui, aku merasa ingatanku tentang 'dia' akan semakin menipis.

Tapi, tapi untuk sekarang saja, hanya untuk musim panas ini saja, membiarkan diriku mengerti bagaimana rasanya berteman dengan mereka itu tidak apa, bukan?

Di kegelapan, aku bertanya kepada orang itu, yang hanya hidup di dalam ingatanku.
 ~***~
"Hei, Shintaro."

“………..Apa?”

"Kamu telah memiliki banyak teman, bukankah itu bagus? Apakah kamu bahagia bersama mereka?"

"Tidak mungkin, aku tidak pernah memikirkan itu.”

"Bohong. Karena hari ini Shintaro sepertinya sangat senang. Ini pertama kalinya aku melihat Shintaro tersenyum dengan bahagia."

"Sudah kubilang itu tidak benar. Aku hanya didorong-dorong oleh mereka. Aku sangat lelah tau."

"Hei, Shintaro. Apakah kamu mengingatku?"

"Apa yang kau bicarakan? Tentu saja aku mengingatmu."

"Kalau begitu, kenapa tidak memanggil namaku?"

"eh…….. kenapa tiba-tiba...ada apa?"

"Hei, Shintaro. Kenapa kamu tidak memanggil namaku?"

"He-HENTIKAN……….. kumohon hentikan………….."

"Tentu saja……… kamu tidak bisa, kan? Kamu tidak bisa mengingatku, kan?"

"Cukup………. Hentikan. Tolonglah, kumohon"

"HEI, SHINTARO."
~***~

"UAAAAHHHHHHHH!!!!!"

"UWAAAAAAHHH!!??"

Penglihatanku tiba-tiba menjadi terang, kini yang kulihat adalah pemandangan markas yang sama seperti sebelum aku tidur.

"Ni-ni-ni-nii-chan membuatku takut saja! Ada apa?!"

Saat menoleh aku melihat Momo yang memandangku dengan khawatir, tangannya terletak ditombol yang berbentuk sasaran anak panah.

"Ahh, ternyata kau. Tidak ada apa-apa. Hanya mimpi buruk."

"Mi-mimpi apa…… wajah nii-chan pucat loh."

Momo dengan khawatir berlari ke arahku dan menatap wajahku.

"Sudah kubilang tidak apa-apa, kan. Ngomong-ngomong bagaimana denganmu, ada apa? Kupikir kau sudah tidur."

"Eh? Tidak apa-apa, aku cuma terbangun saja kok…….. jadi kupikir mungkin lebih baik aku cek kondisi anak itu atau apalah~ yah begitulah."

Momo tertawa dengan sikap seperti ingin minta maaf telah membangunkanku.

"……begitu toh. Tapi aku tidak terbangun karenamu jadi kau tidak perlu khawatir."

"Uum! Tapi kita banyak melakukan aktifitas seharian ini, nii-chan jadi kelelahan kan? Istirahatlah dengan tenang, oke?"

"Iya…… ahh, ngomong-ngomong."

Aku berkata sambil berdiri dari sofa dan menatap langsung Momo yang wajahnya memerah.

"Ada apa……? Ada masalah apa nii-chan……."

"Kenapa. Kau. Melakukan. Ini?"

Menanggapi pertanyaanku, Momo terlihat gelisah dan ketakutan.

"E-eehhh………aku tidak mengerti apa yang dimaksud nii-chan………"

Beda jauh denganku yang tidak memindahkan pandanganku, Momo tidak bisa untuk tidak mengalihkan arah pandangan matanya. 

"Jika Momo tertidur biarpun kau menggunakan besi untuk memukulnya dia tidak akan bangun, sehingga untuk membangunkannya jadi sangat menyusahkan. Dan juga, Momo bertengkar dengan Hibiya. Kurasa dia tidak akan khawatir kepadanya sampai-sampai dia ingin mengeceknya. Tambah lagi….."

Saat aku mengatakannya, Momo tidak berkutik. Mungkin saja karena wajahnya menghadap ke lantai, aku tidak bisa melihat ekspresinya.

"Momo memanggilku ‘onii-chan’, KANO."

Tiba-tiba sosoknya sedikit memudar dimataku dan berganti dengan sosok yang sedari tadi sedang menyamar, Kano dengan seringai andalannya menatapku.

"…tepat sekali~ kau benar-benar menarik, Shintaro-kun. Fantastik!"

"Terima kasih. Sekarang beritahu aku, kenapa kau sengaja menyamar menjadi Momo di tengah malam seperti ini?"

Seringainya yang seakan tidak akan goyah menghadapiku, ditunjukkan oleh ekspresinya yang tidak berubah—masih memasang seringai yang terlihat licik dimataku.

"Haha, sepertinya aku agak dibenci ya. Tapi tentu saja kau akan marah, karena aku menyamar jadi adik tercintamu.....kan?"

Kano mengedipkan matanya dengan jahil. Dia pikir aku ini bodoh apa...

“Bukan itu. Kenapa kau menyamar menjadi orang lain di rumahMU sendiri? Aku ingin kau memberikanku alasan yang jelas untuk itu.”

"Mm~ hmm. Tentu saja aku akan melakukan sesuatu yang menguntungkanku. Tapi, apakah yang akan terjadi jika aku mengatakan alasannya? Setelah mengetahui alasannya, apakah yang akan Shintaro-kun lakukan?"

Kano segera membalikkan badannya membelakangiku, tangannya terbuka ke samping.

“Bukankan ini aneh? Aku hanya akan menjadi semangat pada saat seperti ini. Mungkinkah aku melupakan sesuatu? Sesuatu yang PENTING~ saat aku melakukannya."

Kano masih pada posisinya—membuatku tidak bisa melihat ekspresi seperti apa yang dia perlihatkan.

Namun kata-katanya itu seakan mendeskripsikan diriku, kata-kata yang bagaikan sebuah tangan raksasa yang kemudian meremas hatiku tanpa ampun.

“........apa yang ingin kau katakan?”

"Hmm~? Oh tidak tidak, aku hanya mengumpamakannya. Shintaro-kun, wajahmu mengatakan bahwa kau telah melupakan sesuatu lho."

Tiba-tiba lampu yang diatas Kano berkedip.

Setiap kedipan lampu bagaikan kilat yang menyambar dan memberikan cahaya sesaat—menyinari Kano yang masih membelakangiku.

“KAU TAHU APA..?!”

"Ah, bingo~ gawat, ini semakin menarik. Sepertinya kau benar-benar melupakan sesuatu, Shintaro-kun"

Menghadapi sikap Kano, amarahku sudah sampai ketitik yang siap untuk meledak.

“SUDAH KUKATAKAN AKU TIDAK MELUPAKAN APA-APA!!!!!!!!”

Bersamaan dengan itu, aku mencengkram pundak Kano dan memaksanya untuk menatapku. Lampu kian berkedip, bukannya berhenti malah semakin menjadi-jadi.

Emosi yang selalu kupendam dua tahun ini pun pecah.. hatiku yang sudah terasa seperti diremas seakan hancur... 

"KALAU BEGITU, KENAPA? KENAPA KAMU TIDAK MENYELAMATKANKU?"

Aku mulai melihat halusinasinya... sosok bersurai coklat sebahu dengan syal merah yang senantiasa menghiasi lehernya...

Dia muncul dihadapanku, dengan senyum yang tidak pernah pudar dari wajahnya.


"A-AAHH……"

Kakiku mulai bergetar, aku tidak bisa lagi menopang tubuh ini.

Aku mulai tidak memahami situasi ini, aku mulai mengumamkan rangkaian kata-kata yang tidak bisa disebut sebagai kalimat.

"Hei. Jawab aku Shintaro. Atau mungkin, kamu melupakanku?" 

Tiba-tiba ia berada dihadapanku dengan senyum hampa, sehampa iris coklatnya yang menatapku lurus seakan berusaha menyelami dasar jiwaku.




“Ti-TIDAK......aku......”

Seluruh perasaan yang telah kupendam selama bertahun-tahun kini mulai tumpah, namun aku tetap saja tidak bisa merangkainya menjadi kata-kata. Pada akhirnya aku tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun.

Kali ini dia tidak menungguku. Pada akhirnya semua seperti hari itu, aku tidak bisa menyampaikan apa yang ada dipikiranku kepadanya.

"Sudahlah. Selamat tinggal, Shintaro. Berbahagialah."

Lalu semua lampu di ruangan ini mati, untuk beberapa saat aku tenggelam dalam kegelapan. Ketika lampunya terang kembali dia telah menghilang dari hadapanku.

Keseimbanganku tiba-tiba menjadi tidak stabil—menyebabkan tubuhku rubuh namun berhasil kutahan dengan tanganku yang gemetaran. Sesuatu dalam diriku seolah-olah telah hancur, air mata perlahan menetes dari mataku.

Tanpa diberi perintah, perasaan yang telah kupendam selama ini berhamburan keluar. Entah kenapa badanku sulit untuk kugerakkan.

....apakah ini hukuman? Hukuman untukku yang tidak pernah mendengarkan ceritanya ataupun membantunya.

“Maafkan aku......maafkan aku...........”

Kata-kata yang sejak dulu ingin kuucapkan akhirnya keluar, menggema dalam ruangan yang sunyi ini. Kemudian  menghilang tanpa jejak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar