Selasa, 10 Juni 2014

Yobanashi Deceive II



 Cerita Malam Menipu II

Kredit kepada kuroha untuk Eng trans
Di translet bersama Muh Rais S

Musim panas telah berakhir.


Bahkan panas yang memuakan dan suara dari jangkrik menghilang, meninggalkan aku sendirian.

Berbaring di kamar yang sebagiannya gudang, hari ini aku kembali tidak memiliki  kerjaan selain menjalani hidup ini.

Sejak Ibu meninggal, aku telah dilempar dan didorong kesana kemari menuju satu tempat ke tempat lain dan akhirnya kamar inilah yang kudapat.

Tampaknya keluarga yang mengadopsiku adalah saudara jauh ibuku. Namun, kami sangat jarang berhubungan sampai-sampai kami seperti tidak memiliki keterikatan darah sama sekali.

Dua bulan telah berlalu.

Aku sudah cukup beruntung untuk bertahan hidup, biarpun aku tidak terlalu senang dengan itu aku tidak pernah berpikir untuk bunuh diri atau semacamnya.

Ini adalah pertama kalinya aku menyadari bahwa alasan hidup matiku pun hanya bisa ada jika Ibu pun ada.

Biarpun aku mati sekarang, apa untung ataupun gunanya melakukan itu?

Apapun yang kulakukan aku tidak akan pernah bisa melihat Ibu lagi jadi apa gunanya mati?

Terlepas dari itu, fakta bahwa aku adalah anak ibuku tidak akan pernah berubah.

Jika diriku, yang untungnya selamat, malah menyebabkan masalah kepada orang lain.....seandainya  aku tiba-tiba mati dan membuat masalah......aku hanya akan membuat Ibuku tidak tenang.

Aku tidak akan mampu mengatasi sesuatu seperti itu

Aku akan mengulang hari-hari tidak berarti ini dan menjalani hidupku dengan normal.

Pada waktu itu, hal itulah yang paling pantas dilakukan

Aku tidak sengaja mulai menatap langit-langit bersamaan aku berbaring disini. Angin sejuk bertiup ke dalam ruangan dari jendela yang terbuka.

Paling tidak, aku tidak akan seperti ini selamanya.

Aku harus menjadi kuat, aku harus bekerja, aku harus makan.

Aku harus segera menjadi dewasa...

Tepat disaat aku memikirkan kata dewasa , sesuatu dalam hatiku terasa berguncang.

Tiba-tiba aku menggigil, aku duduk dan memeriksa diriku, tetapi aku tidak merasakan sakit di dadaku ataupun kesulitan dalam bernapas.

"Apa yang terjadi..."

Apakah seharusnya tidak membuka jendelanya?

Akan buruk jika aku kena demam.

Jujur, aku merasa pasangan yang mengadopsiku tidak terlalu menyukaiku.

Jika aku akhirnya demam, mereka pasti tidak akan menerimanya dengan baik.

Untuk jaga-jaga, kusimpulkan bahwa lebih aman jika aku meminum obat demam—tapi bagaimana aku bisa mengambilnya?

Aku mengingat saat aku diberi tur singkat mengelilingi rumah ini aku telah diberitau dimana letak obat demamnya.

Aku tidak mengetahui dimana obat demamnya karena aku belum mengunjungi tempat yang diberitaukan mereka, tapi karena aku sudah diberitau tempatnya itu berarti tidak apa-apa untuk mengambilnya, kan.

" Hmm~ ...Kurasa aku akan pergi dan bertanya."

Aku akan bertanya dimana letak obat itu bersamaan aku meminta izin untuk menggunakannya, ini seperti membunuh dua burung dengan satu batu. Aku akan menghancurkan demam ini sebelum dia memburuk.

Aku berdiri dan meninggalkan ruangan ini.

Bangunan koridornya sangat rapi dan elegan memberikan rasa kemegahan dan keagungan. Apartemen yang kutinggali dulu sama sekali tidak bisa menyaingi kemewahannya.

Biarpun aku mengatakan begitu, rumah ini paling tidak lebih hebat dari rumah yang biasa dimiliki oleh keluarga-keluarga normal. Kesan ‘kemewahan’ yang kupikirkan pun mungkin hanyalah prasangka yang kudapat dari lingkungan tumbuh besarku dulu. Jika seseorang mengatakan kepadaku, “Huh? Rumah seperti ini sudah umum.”, aku tidakkan bisa menyanggahnya.

Namun, biarpun begitu.

Aku memang tidak pernah mengatakan ini dan tidak memiliki keinginan untuk mengatakannya langsung, tetapi dekorasi di sekitar rumah ini dan lukisan-lukisan yang digantung di dinding tidak terlalu spesial bagiku.

Saat aku berjalan di lorong aku bertemu langsung dengan pahatan yang angker, keanehan pahatan itu sampai membuat bulu kudukku berdiri.

Mungkin ini adalah salah satu pahatan yang tidak akan pernah bisa dimengerti oleh orang sepertiku.

Sebagai orang yang harus membersihkan ini setiap hari, biarpun aku tidak bisa menyalahkan pemahatnya aku ingin komplain ke dia, “Kenapa kau tidak bisa membuatnya lebih simpel?!”

Melewati pahatannya, aku membuka pintu ke dapur, dan melangkah masuk.

Kukira tante akan ada di dalam karena sekarang sekitar waktu makan malam, akan lebih mudah jika dia ada karena aku bisa menanyakan tempat obatnya, sayangnya prediksiku salah.

Aku tidak melihat tante dimanapun, dan dari gunungan piring dan alat-alat makan yang masih kotor di bak cuci, bisa kusimpulkan bahwa persiapan makan malam masih belum di mulai.

“Tante tidak disini....huh. Apa yang harus kulakukan sekarang?”

Bagaimana pun juga, aku tidak sebodoh itu sampai aku akan pergi ke kamar tante untuk mencarinya.

Tapi jika aku berpikir bagaimana aku harus menunggu di dapur hingga tante ke sini membuatku merasa tidak enak.

Syukurlah ingatanku tentang dimana obat demamnya mulai lebih jelas setelah aku berada di dapur.

Jika ingatanku benar, harusnya obatnya berada di lemari kaca yang bagus itu

Aku memutuskan untuk membuka lemari, dan jika ada tablet di situ aku akan mengambilnya, kemudian aku akan langsung kembali ke kamarku.

 Berdiri di dekat bagian belakang dapur, aku melangkah menuju lemari kaca.

Akan lebih baik seandainya saja aku melangkah maju tanpa melihat kemana-mana, tapi entah mengapa mataku tertarik menuju tumpukan peralatan dapur.

Dan tepat pada saat itu aku melihat pisau.

Pisau yang sama persis seperti pisau yang digunakan pria itu untuk menusuk Ibu di hari itu.

Bulu kudukku berdiri bersamaan jantungku berdetak lebih cepat.

Tentu saja, itu bukanlah pisau yang mengabil Ibu dariku. Buktinya adalah bekas-bekas yang berada di pisau yang berarti itu sudah pernah digunakan sebelumnya.

Perlahan, tanganku meraih pisaunya.

Menggenggam gagang pisaunya, aku memutar-mutarnya di tanganku, merasakan beratnya.

Jika dibandingkan dengan peralatan makan lainnya yang berada di rumah ini, tidak ada yang bisa mengalahkan pisau ini. Pastinya ini adalah pisau yang sangat mahal.

“.....bagaimana bisa, Ibu? Bagaimana bisa kau meninggal tanpa pernah memakai pisau semahal ini sekali pun?”

Pada hari Ibu membeli pisau-pisau ini dia sangat banyak bicara.

Biarpun dia langsung lupa esoknya, aku masih ingat bagaimana Ibu, dengan mata berbinar-binar, mengatakan, “—dengan ini, kita bisa membuat makanan yang sangat enak”

---bersamaan dengan pikiran-pikiran ini memenuhi benakku, hatiku meluap dengan kesepian.

Kenangan tentang wajah, suara, dan aroma Ibuku tiba-tiba menghantamku secara bersamaan.

Ibu......

“AAAAHHHHHHH!!”

Aku kehilangan kata-kata saat aku mendengar teriakan memekikkan telinga.

Bayangan tanteku yang berdiri di depan pintu, baru mau mulai menyiapkan makanan, terlihat ketakutan saat menatapku.

Ekspresinya dipenuhi dengan teror, dia seperti baru melihat hantu.

Oh tidak.

Mungkinkah aku menakutinya karena aku memegang pisau?

“Ah, aku sangat minta maaf! Aku hanya ingin melihatnya, itu saja!!”

Aku buru-buru meletakkan pisaunya di atas handuk dan menunjukkan kepadanya tanganku yang kosong.

Tentu saja aku sama sekali tidak memiliki tujuan untuk menyerangnya, jadi ini adalah hal terbaik yang bisa kulakukan.

Semoga dia menjadi tenang sekarang. Bakal ada masalah jika aku menakutinya dan membuatnya melaporkanku.

Namun.....

Apa yang kulakukan sama sekali tidak membuat tante tentram, wajahnya malah lebih pucat dari sebelumnya. Saking takutnya seluruh tubuhnya mulai bergetar.

Darimanapun aku melihatnya, ada sesuatu yang salah. Apa yang membuatnya sangat ketakuran?

Baru saja aku mau menanyakan apakah dia baik-baik saja, namun tante terlebih dahulu berbicara dengan sangat nyaring, hampir seperti berteriak.

“Ke-kenapa kamu.....ap-apakah kamu sebenci itu pada kami?”

Benci.....tidak mungkin aku merasakan itu.

Aku sangat bagagia dia telah membiarkanku tinggal di sini.

“Ah, um, tolong tenanglah dulu....”

Aku melangkah menuju tante. Aku tidak mengerti apa yang ingin dia katakan, tetapi aku ingin menghilangkan kesalahpahaman kami dulu.

Selain itu, aku tidak membawa apa-apa di tanganku, dan darimana pun kau melihatnya aku tidak melakukannya dengan sengaja......

“Jangan......! Ja-jangan mendekat!”

Seluruh kerja kerasku tidak ada gunanya; setelah dia meneriakkan ini dia langsung kabur menuju koridor.

“Aah! T-tunggu sebentar”

Aku meneriakkan ini tanpa bergerak dari posisiku yang semula, tetapi belum selesai aku berkata tante sudah membuka pintunya dan kabur dariku.

Klik. Hanya suara pintu yang tertutuplah yang menggema di ruangan ini.

Oh tidak, tidak, tidak.

Ini mengerikan!

Tanpa sengaja dan tanpa kuketahui aku telah membuat kesalahpahaman yang sangat besar.

“A-apa yang harus kulakukan?! Aaah...”

Hal yang terburuk ialah biarpun aku menundukkan kepalaku dan meminta maaf waktu tidak bisa berputar kembali.

Aaah, mengapa aku selalu melakukan hal yang tidak diperlukan?

Seandainya aku diam saja di dalam kamarku.

Seandainya saja aku tak mencoba sesuatu yang bodoh seperti mencari obat demam, hal ini tidak akan terjadi....

Aku yang sekarang pusing tujuh keliling berbalik dan melototi pisau yang menjadi inti masalahku.

Ini adalah salah pisau itu. Kemalangan apa lagi yang akan dibawa pisau itu kepadaku?

Aku tidak bisa menahan amarah yang mulai muncul saat aku melihat pisau elegan yang mengkilat disinari cahaya bagai mengejekku.

“……hah?!”

Menemui pemandangan yang sangat amat aneh, aku melempar pisau itu jauh dengan ketakutan dan duduk di lantai dengan gemetaran.

Aku menampar wajahku sendiri untuk memastikan aku tidak bermimpi, namun tidak ada yang berubah. Seperti yang kuduga, tidak mungkin aku bisa menerima ini begitu saja tanpa mengeceknya sekali lagi.

Aku berlari dari dapur dengan sangat buru-buru, melewati pahatan yang aneh, dan meluncur ke kamar mandi.

Tepat pada saat itu aku berhenti di depan diriku yang terpantulkan cermin di atas bak cuci.

“Ke-kenapa?”

Apa yang dipantulkan oleh cermin bukanlah wajahku yang biasa kulihat melainkan wajah ibuku.

Seandainya ini benar-benar pertemuan kembali dengan Ibu, aku sudah pasti akan berlari menuju pangkuannya tanpa pikir panjang.

Namun tidak mungkin itu terjadi. Ibu sudah meninggal.

Menemui fenomena unik seperti ini, otakku yang sedari tadi panik mulai menjadi tenang.

Aku mendekat ke cermin dan meremas pipiku.

Tak diragukan lagi yang tercerminkan di cermin ini adalah wajah ibuku, tetapi jariku tidak merasakan pipi Ibuku.

Kemudian aku menatap cerminnya dengan dalam dan membuka mulutku, pantulan Ibu di cermin juga melakukan hal yang sama denganku.

Sudah pasti itu adalah aku.

Biarpun aku tidak tau bagaimana bisa aku menjadi seperti ini sepertinya aku sekarang terlihat seperti Ibu.

Sesaat aku menyadari ini, hal lain terpikir di otakku.

Tadi, tante yang berlari dengan ketakutan melihat wajah ini.

Jika begitu, aku paham mengapa tante bertingkah seperti itu.

Bayangkan; saat kau berjalan menuju dapur lalu tiba-tiba melihat kerabat yang seharusnya mati berdiri di situ sambil memegang pisau—pantas saja dia ketakutan. Tapi sih, kalau itu adalah aku, aku malah akan berlari kepangkuan Ibu.

Bagaimana pun juga, yang paling penting sekarang adalah memutuskan apa yang akan kulakukan mulai sekarang.

Melakukan sesuatu seperti menatap ke cermin dan mengatakan, “Aku sangat merindukanmu,” tidak hanya menakutkan tapi juga menyeramkan.

Daripada melakukan itu, aku harus kembali menjadi normal secepat mungkin.

Melihat bagaimana tante bereaksi, dia mungkin pergi dan memanggil polisi; tidak mungkin dia hanya terus berdiam diri dan menunggu.

Pada waktu yang sama, jika seseorang mengatakan ‘melihat almarhum kerabat di dapur’  polisi tidak akan langsung menanggapinya.

Berarti aku masih punya cukup banyak waktu.

Sekali lagi, aku menatap wajah Ibuku yang terpantulkan di cermin lebih dekat, tapi sudah jelas tidak ada sesuatu seperti tombol yang bisa kutekan agar aku bisa kembali menjadi normal.

Ngomong-ngomong, sebenarnya sejak kapan aku menjadi seperti ini?

Saat pertama kali aku mengambil pisaunya wajahkulah yang terpantulkan di pisau itu.

Beberapa saat setelah itu, tante datang dan berteriak, berarti perubahan ini terjadi di sekitar waktu yang pendek itu.

Dan pada saat itu, aku berubah menjadi seperti ini karena....

“Ti-tidak mungkin....”

Menutup mataku, aku mencoba mentes teoriku.

Apa yang kulakukan pada saat itu adalah ‘mengingat kembali’ penampilan, suara, dan aroma Ibu.

Seandainya aku cukup ‘mengingat kembali’ lagi, bisakah aku kembali ke wujudku yang semula?

Seandainya di dunia ini ada cara mengganti penampilan dengan mudah yang bahkan orang idiot bisa memikirkannya, pastinya itu akan membuat masalah besar.

Karena itulah aku tidak terlalu berharap banyak dari ideku ini.

Namun aku memutuskan untuk mencobanya saja, jadi aku memfokuskan pikiranku.

Ingatlah kembali penampilan, suara, dan aroma.

....sekitaran 30 detik berlalu.

Biarpun aku sama sekali tidak tau berapa lama waktu ideal untuk menunggu ini bekerja, aku membuka mataku sekarang.

“Oke......eeeehhhhh?! Beneran nih?!”

Ibuku yang tadinya berdiri di sisi lain cermin menghilang dan digantikan oleh gadis yang kutemui di taman dua bulan lalu.

Tubuhnya, kulitnya, bahkan matanya---tidak salah lagi, ini adalah apa yang kuimajinasikan tentang gadis itu.

“Ba-bagaimana bisa........hebat banget...!”

Pernahkah aku memikirkan sesuatu se’menarik’ ini sebelumnya?

Tidak, aku yakin aku tidak pernah.

Hal aneh yang terjadi tepat di depan mataku ini memicu rasa penasaranku.

Tidak tau apa yang akan terjadi selanjutnya, aku tidak bisa menahan rasa penasaranku untuk apa yang akan terjadi kemudian.

Mata gadis yang terpantul di cermin mengkilap seperti saat ia berbicara tentang ‘serangan rahasia’.

Ah, seperti inikah ia merasa saat hari itu?

Jika begini rasanya, aku paham sekarang kenapa gadis itu sangat ingin melanjutkan pembicaraan kami.

Oh iya, biarpun aku berjanji untuk menemui gadis itu di keesokan harinya, aku malah tidak bisa datang.

Kalau kami bisa bertemu kembali, aku harus menggunakan kemampuan ini untuk mengejutkannya.

Baru saja aku yang berwujud gadis itu melocat-loncat di depan pembasuhan, aku mendengar suara singkat ‘klik’ dari dalam rumah.

Seluruh badanku menjadi kaku dan aku mulai berkeringat.

Menguping, aku mendengar tante berkata, “Ada orang mencurigakan tadi! Di sini....”

Begitu kah--dia cukup pintar, bukan?

Dia dapat dengan cepat memanggil polisi dengan mengatakan ada ‘orang mencurigakan’ daripada mengatakan  ada‘hantu’.

Ini bukan waktu yang tepat untuk main-main.

Tidak—dari awal memang bukan waktu yang tepat, sekarang situasi mulai menjadi lebih serius.

Syukurlah, sepertinya mereka tidak berencana untuk langsung mendobrak ke dalam.

Aku harus menggunakan kesempatan ini untuk kembali normal. Aku yakin tante akan kebingungan saat ia melihat dapurnya kosong, tapi hanya ini satu-satunya cara.

Aku akan mencari cara untuk minta maaf setelah ini.

Menutup mataku dengan erat, hanya kegelapan kelam yang bisa kulihat

Ingatlah....!

“....ini tidak bekerja sama sekali.....”

Bulir-bulir keringat berjatuhan dari wajahku.

Ini buruk. Aku tidak bisa melakukan hal terpenting: mengingat kembali ‘diriku’

Selama aku hidup selama ini, setidakpeduli inikah aku terhadap diri sendiri?

Kalau kupikir-pikir, aku memang jarang berfoto atau pun melihat ke cermin.

Pastinya aku tidak pernah memikirkan aroma atau pun suaraku sendiri.

Dengan harapan dan doa memenuhi hatiku, aku membuka mataku—namun semua itu tidak berguna karena yang terpantulkan di cermin masih gadis yang di taman itu, hanya saja sekarang wajahnya pucat.

Mendengar langkah kaki yang semakin mendekat, wajah gadis itu semakin kaku.

Bagaimana kalau aku tertangkap polisi dengan wajah seperti ini?

Pastinya ini hanya akan membuat gadis itu menjadi kesusahan.

Biarpun aku baru saja menyadari bagaimana mudahnya berubah menjadi orang lain, untuk diriku yang dungu dan bodoh ini mustahil aku bisa fokus menjadi diri sendiri.

“A-ah, paling tidak aku harus bersembunyi dulu...!”

Di dalam kamar mandi ada ruangan yang terpisah khusus untuk shower.

Bersembunyi di situ bukan ide yang bagus tapi lebih baik begitu daripada langsung tertangkap seperti ini.

Setelah membuat keputusan aku langsung mulai bertindak.

Aku terburu-buru berjalan menuju ruang shower.

“Ow!!”

Rasa sakit yang luar biasa muncul dari pinggangku.

Entahlah karena teriakanku tadi atau bukan, tetapi suara langkah kaki serasa makin mendekat ke arahku. Aku menahan napasku dan masuk ke dalam ruang shower.

Seperti yang kuduga, beberapa polisi masuk ke dalam ruangan. Aku yang masih berwujud gadis itu memperhatikan mereka dan aku mulai mengeluarkan keringat dingin.

Bagaimana aku bisa minta maaf kepada gadis ini?

Tidak apa-apa kalau mereka hanya akan menatapku yang seperti ini. Namun, jika keberadaan kemampuan ini ketahuan, tidak diragukan lafi aku akan menjadi pelaku dalam kasus ini.

Jika itu terjadi aku pasti akan terjebak dalam situasi yang sangat menyusahkan.

Hatiku dipenuhi dengan luapan penyesalan. Ah, ceroboh banget aku.

Baru saja aku merasa putus asa memikirkan kebodohanku, seorang polisi datang dan mengulurkan tangannya kepadaku.

“Hei kamu, kamu tidak apa-apa? Apa yang terjadi?”

“Ah, tidak ada, tidak ada yang terjadi. Aku hanya terpeleset tadi....”

Aku hanya memberikannya kebenaran yang polos.

“Begitu yah. Uh, apakah kamu melihat seseorang mencurigakan?”

Pada saat ini aku tiba-tiba menyadari sesuatu, tetapi aku tetap tenang dan mengatakan, “Aku tidak melihat siapa pun....”

Saat aku menyelesaikan kalimatku, aku melihat tante yang ketakutan dan gemetaran berada di belakang polisi.

Inilah akhirnya. Tidak ada jalan keluar dari masalah ini.

Tante pasti terkejut sekali melihat kedatangan gadis tidak dikenal.

Namun kebalikan dari pikiranku tante mengatakan sesuatu yang tidak kuduga sama sekali.

“Shuuya-kun, apa yang sedang kau lakukan?”

“Eh?”

Biarpun tidak aneh dipanggil dengan namaku sendiri, ada situasi ini kata-kata itu sangatlah penting.

Aku buru-buru berdiri dan melihat ke cermin—dan di situ tercermin diriku sendiri dalam tubuh asliku, berkaca-kaca.
“S-Shuuya-kun? Apa yang kau lakukan?”

Aku mengabaikan tante dan merenungkan apa yang membuatku bisa kembali seperti semula.

“...rasa sakit.”

Kesimpulan yang kudapatkan serasa sangat ironis.

Sakit yang kurasakan di pinggangku saat aku terpeleset, apa yang kurasakan saat kesakitan itu, sudah pasti ‘kenangan’ tentang diriku sendiri.

Hanya ‘kesakitan’ yang bisa membuatku menyadari ‘diriku’; satu-satunya bagian yang membentuk ‘identitas’ku.

Setidaktertarik apa aku terhadap diriku sendiri sampai-sampai aku hanya bisa mengenali diriku dengan kesakitan?

Semua yang berada di kamar mandi terlihat khawatir, tapi aku hanya tertawa kepada kebenaran tidak masuk akal yang baru kutemukan.

.....kemampuan untuk menyamar dan menipu orang lain.

Aku terkejut bagaimana diriku menerima kemampuan ini dengan mudah dibandingkan dengan saat aku pertama kalinya menemukannya.

5 komentar: