Pada Suatu Hari Di Jalan yang Disebut dengan Hari Ini
Kira-kira
apakah gadis itu sudah mendapatkan tubuhnya kembali?
Mungkin
saja cerita yang kukisahkan kepadanya tidak ada artinya setelah ia mendapatkan
tubuh aslinya kembali, tapi sudah bisa mengeluh sekali saja kepadanya sudah
cukup bagiku.
Dan
lagi, aku bersyukur akhirnya aku bisa mengucapkan semua keluhanku terhadapnya setelah menjadi telinga pendengar
curhatan-curhatannya selama ini pada hari-hari di atas atap itu.
Kalau dipikir-pikir, sejak
kapan dan bagaimana bisa aku menceritakan tentang diriku sendiri terhadap orang
lain?
Mungkin ini adalah pertama
kalinya aku melakukan hal seperti itu.
Kemungkinan besar penyebab aku
bisa menceritakan kisah hidupku semulus itu karena orang yang mendengarkannya
adalah gadis yang sama liciknya denganku.
Kenapa aku merasa aku dan gadis
itu mempunyai kemiripan yang sungguh aneh.
Namun, karena pada akhirnya inilah
yang terjadi hal seperti itu tidak penting lagi.
Lampu-lampu pijar di pinggiran
jalan menyinari jalanan malam yang kulalui. Kilauan redup dari cahayanya entah
mengapa membuatku merasa lega.
Dengan setiap langkah yang
kubuat, suara gemaan dari sepasang sepatu botku memberikan perasaan nyaman ke
telingaku. Sebelum aku menyadarinya, diriku telah menyukai malam hari.
Malam yang hitam kelam menutupi
corak kulitku yang terlihat akan hancur.
Hembusan angin malam memalsukan
kata-kata kotorku yang tidak pantas diucapkan.
Kegelapan senyap di malam hari
memaafkan hatiku yang begitu menyimpang.
...Sebelum aku menyadarinya,
aku telah berubah.
Sungguh mengherankan bagaimana diriku
tidak memahami hatinya sendiri.
Aku yang hanya bisa dikenali
saat disakiti tidak bisa lagi menemukan kepastian akan keberadaannya sendiri.
Namun, tiada arti yang bisa
kudapat dalam memikirkan hal seperti itu terus-menerus.
Tinggal sedikit lagi, semuanya
akan berakhir.
Diri kami yang tak berdaya akan
hancur karena kegelapan yang lebih menyeramkan daripada malam hari.
...Meski begitu, aku telah
melakukan hal buruk kepada anak itu kemarin.
Biarpun hanya mereka saja, aku
ingin membantu mereka untuk kabur. Tetapi, pada akhirnya aku tidak bisa
melakukan apapun.
Seperti apa yang dikatakan oleh
ular itu, [para ular] akan berkumpul di sekeliling [ratu] sesuai instik mereka.
Anak itupun tidak terkecuali.
Aku benar-benar tidak bisa
mengubah apapun.
Bahkan saat aku mencoba untuk
mengubah sesuatu, entah bagaimana semuanya akan kembali bergerak sesuai alur
irama permainan ular keji itu.
Biarpun seandainya kata-kata
menyakitkan ular itu adalah kebenaran, tentang penyebab kenapa dunia itu
terbuat, kami tidak punya kekuatan untuk melakukan apapun.
Pada akhirnya, kebahagiaan itu
apa?
Ketika [ending]-nya sudah
ditentukan seperti ini, apakah hal seperti itu dapat dikatakan ada?
Ya. Saat aku menyadari situasi
tanpa harapan ini, aku hanya bisa berpikir kenangan-kenangan di rumah itu bagaikan
cerita fiksi belaka.
Tiba-tiba, aku mendengar suara
langkah kaki orang lain. Aku berhenti berjalan.
Menoleh ke arah asal suara
langkah kaki itu, aku disambut sosok pemuda yang kukenali. Seto.
“Ah~ Akhirnya! Kau di sini
toh!”
Katanya, sambil melambai dengan
lebar dan berlari menuju ke sisiku.
“Dasar~ aku sudah
mencari-carimu sejak aku selesai kerja paruh waktu lho. Kalau kau mau
jalan-jalan ke suatu tempat, setidaknya beritau kami dulu! Ini sih terlalu
kejam!”
“M-Memangnya kenapa kau sampai
perlu melakukan itu? Aku hanya keluar sebentar kan.”
Saat aku mengatakan itu, Seto
menggembungkan pipinya.
“Oi! Kau tidak pulang-pulang
dan tidak ada menghubungi kami. Semuanya mencemaskanmu karena kejadian kemaren
malam tau!”
Menerima rentetan kata-kata
membosankan dari Seto, aku merasakan ada sesuatu yang mulai muncul dari dadaku.
Bagaimana bisa dia menggunakan
bahasa muluk itu saat dia tidak tau apa-apa?
“Gitu ya, gitu kah. Bla bla bla
berisik amat.”
Ketika aku mengatakan hal
tersebut, Seto membalasku tanpa peduli apa ang terjadi, “Gaya bicara apa itu~!
Kau tau kan aku begini karena aku mengkhawatirkanmu?”
...Walau begini, aku paham apa
yang dia maksud.
Tentu aku tau kalau mereka
semua mengkhawatirkanku.
Tetapi, tanpa disengaja hati
yang bahkan [diriku] sendiri tidak pahami meledak, meluapkan kepedihan tiada tara
bersamanya. Aku tidak bisa menahan perasaan-perasaan gelap yang keluar bagai
banjir bandang dari retakan jiwaku.
“Menyebalkan sekali! Bisa diam
enggak sih!!?”
Teriakkanku menggaung di
sekitar jalanan malam.
“Berhenti bicara hal seegois
itu saat kau sendiri gak tau apa-apa!! Bicaralah dengan normal! Kau
mengkhawatirkanku? Sungguh kata-kata dangkal tak berarti...”
Aku tidak bisa menghalau
perasaan yang beruntun keluar dari mulutku. Aku tidak tau lagi apa yang sedang
kuucapkan.
“A-Ada apa denganmu? Kenapa kau
tiba-tiba...”
“Tolong... berhenti berbicara
seperti itu!! Apa... Kenapa... kau”
Aku menekuk lututku ke tanah.
Kedua bola mataku menjatuhkan bulir-bulir air mata tanpa seizinku.
“Kenapa kalian semua
berubah...? Seto maupun Kido... kenapa tidak ada yang menyadari kepedihanku!?
...Seorang diri menyimpan kebenaran tentang kematian kaka... aku sudah tidak
tahan lagi...”
Topengku yang sudah kutempa
dengan begitu lama hancur, menyisakan seorang anak cengeng yang menyedihkan.
“Sudah cukup... dunia ini...”
“Kano…”
Menunduk, Seto memeluk
punggungku dengan erat.
“Semuanya akan baik-baik saja.
Kita semua akan baik-baik saja...”
“Apa... Apanya yang kelihatan
‘baik-baik saja’ untukmu? Sialan...”
Tidak ada yang bisa dibilang [baik-baik
saja].
Sebaiknya dunia yang kejam ini
segera berakhir. Jika begitu...
“Aku minta maaf karena tidak
memperhatikanmu. Padahal kita sudah bersama selama ini...”
Aku sudah tidak mampu lagi
membalas perkataan Seto.
“...Percuma. Aku ketakutan...
tapi aku tidak bisa memberitaukannya ke siapapun... makanya...”
Di ujung kehancuranku, tanpa
menahan diri sedikit pun Seto menepuk-nepuk punggungku.
“Aku mengerti. Maaf sudah
membiarkanmu memikul beban berat itu sendirian... mulai sekarang, ayo kita
pikul beban itu bersama, oke?”
“... Karena kita saudara.”
Aku merasakan sebuah nostalgia.
Aku teringat waktu-waktu kami
berdua masih di panti asuhan, pada malam hari di [kamar 107] di mana kami
berdua akan mengobrol dan berbagi rahasia satu sama lain.
“Ini
bagus, kan?” aku merasa bagaikan diri
kecilku mengatakan hal itu dengan senyum menghias wajahnya.
Aku berjalan bersama Seto
menuju markas.
Bagaimana reaksi yang lain saat
mendengar hal ini?
Apa mereka akan membenciku?
Karena aku sudah menyembunyikan cerita seperti ini dari mereka semua.
“Itu tidak akan terjadi. Jangan
khawatir!”
Aku terkejut saat aku mendengar
balasan Seto.
“K-Kau sedang menggunakan
kemampuanmu? Aku jadi canggung karena sudah lama sekali sejak pikiranku dibaca
olehmu seperti itu...”
“E-Eh!? Bukannya tadi kau yang
memintaku mendengarkan pikiranmu!?”
“Uahh! Yang itu sudah selesai,
oke...! Tolong jangan beitau hal itu di depan yang lain, yah?”
“Ha ha ha! Aku takkan bilang!
Ini rahasia antar lelaki!” kata Seto dengan wajah yang bersinar.
Namun, kepalaku masih tertunduk
karena malu. Aku sudah melakukan hal-hal yang memalukan di depannya...
“Ah~ aku benar-benar bertingkah
di luar karakter. Haa...”
“Gak apa, kan!? Sekali-sekali!”
Dia tetap ceria walau sudah
mendengar ceritaku. Apa dia benar-benar mengerti seberat apa situasi kami
sekarang?
Tetapi, meski dia mengerti
mungkin dia akan tetap memasang tampang itu. Bocah cengeng yang tidak bisa
melakukan apa-apa selain bersedih kini tumbuh menjadi seorang pemuda yang dapat
diandalkan.
Tanpa ada rahasia lagi di
antara kami, kami berbincang dengan satu sama lain ketika kami melihat ada
sosok hitam yang berdiri di depan mesin penjual otomatis.
“Uwaah... orang yang merepotkan
telah muncul...”
Saat orang itu menyadari
keberadaanku dan Seto, dia menderap dengan kencang ke arah kami.
Rambut hitamnya yang panjang
diikat menjadi kuncir dua yang menawan. Gaun Rumah Sakit yang dia kenakan
terombang-ambing bersamaan dengan langkah kakinya.
“… Eh? Siapa orang itu?”
“… Ene-chan.”
Sesaat aku menyelesaikan
kalimatku, otak Seto berhenti bekerja.
Mau bagaimana lagi. Batas
antara 2D dan 3D tidak mudah dilewati. Tidak akan ada orang yang bisa memahami
keadaannya dengan mudah.
“Ehhhh!? Bukannya Ene-chan seharusnya lebih… kecil…?”
“Siapa tadi yang kau panggil
kecil? Huh?”
Gadis yang memiliki mata tajam
itu sekarang berdiri di samping kami. Lototan matanya menusuk Seto dengan kuat.
“Tidak, bukan apa-apa!? Ah,
maksudku, uh yah~...”
Seto yang tidak tahan dengan
tekanannya memalingkan wajahnya dari tatapan itu.
“... Kenapa kau tidak
memperkenalkanku sebagai ‘Takane-san’?”
Takane-san membuat raut muka
asam saat menanyakan hal itu kepadaku.
“Soalnya... terlalu
merepotkan... Gak masalah, kan? Hmm~ ...karena Takane-san adalah cara kaka
memanggilmu... Oke, mulai sekarang kami akan memanggilmu Takane-chan!”
“Aku lebih tua dari kalian
tau...!” dia bilang begitu, tapi dia tidak menolak panggilannya...
“Setelah kupikir-pikir, apa
yang terjadi denganmu? Ekspresi wajahmu terlihat lebih hidup sekarang, padahal
baru saja tadi kau terlihat seperti mau mati...”
“M-Masa sih~ setelah kau pergi
ada berbagai hal yang terjadi. Oh, tolong jangan ceritakan kepada siapapun soal
apa yang kuberitau kepadamu, yah...”
Belum sempat aku menyelesaikan
kalimatku, Takane-chan sudah mengeluarkan seringai jahat yang menjanjikan
kejahilan. Kepribadian gadis ini sungguh menyimpang. Mirip seperti diriku yang
terbelah dua.
“Ohoho~? Apakah kau malu sudah
berpura-pura menjadi kakakmu lalu pergi ke sekolah? Jadi gitu toh~”
Dia sama sekali tidak
menyembunyikan kedengkian dari suaranya.
Sirine bahaya berbunyi di
kepalaku. Seharusnya aku tidak mengatakan apapun ke gadis ini. Situasiku
sekarang tidak ada bedanya dengan tikus yang akan dimangsa oleh kucing.
“Hmm~ Seingatku ada seorang
gadis yang tingkahnya jauh sekali dari dirinya yang sebelumnya... sangat riang
dan gembira, gadis yang meneriakkan [Master!] tanpa tau malu, bukan begitu
[Ene-chan]?”
Setelah aku selesai mengucapkan
kalimat itu, Takane-chan merunduk ke tanah dan mulai merangkul kepalanya.
“Aku mau mati aku mau mati aku
mau mati aku mau mati...”
Sepertinya aku berhasil
meluncurkan serangan balasan.
“ARGHH!!! Apa yang harus
kulakukan sekarang? Oke, aku akan berhenti! Aku pasti akan berhenti!”
Yah, mau bagaimana lagi?
Berkeliaran ke sana kemari dan
terus-terusan mengatakan “Master! Master!” kepada orang yang sangat kau tidak
sukai sampai kau tidak tahan melihatnya dalam waktu yang lama...
... Benar juga, aku harus
meminta maaf kepada Shintaro-kun.
Biarpun aku tidak berharap dia
akan menerima permintaan maafku atau semacamnya, aku perlu memberitaunya
tentang apa yang sebenarnya terjadi...
“Ada apa? Apa kau cemas?”
Seperti berempati kepadaku,
Takane-chan yang tadinya merangkul kepalanya mendongakkan kepalanya untuk
menatapku.
“...Yap. Aku tidak bisa
menyangkal kalau aku memang telah melakukan sesuatu yang tidak bisa dimaafkan
kepadanya.”
“Memang benar~ Tetapi dia
bukanlah orang bodoh. Kalau kau menjelaskan situasinya dengan baik-baik, aku
yakin dia pasti akan mengerti.
Aku sendiri pun memiliki
berbagai hal yang perlu kuberitaukan kepadanya apapun yang terjadi. Makanya,
ayo kita bicara kepadanya bersama-sama!”
“...kelihatannya kita memang
perlu melakukan itu, ya.”
Dibandingkan denganku,
Takane-chan memang lebih memahami Shintaro-kun.
Karena mereka sudah menghabiskan
waktu bersama cukup lama.
“Ah, tapi tetap saja, sudah
kuduga... saat aku kepikiran tentang anak itu aku rasa aku ingin
meneriakinya...”
Bersamaan dia mengucapkan
perkataan itu, mendadak Takane-chan kembali merangkul kepalanya.
“Eh? Kalau begitu apa artinya
kata-kata motivasimu tadi! Dan apa? Bagaimana bisa kau muntah saat kau tidak
memakan apa-apa selama dua tahun!?”
“Sebelum aku ke sini aku makan
semangkok ramen.”
“Uangnya gimana!?”
“Arrghhh~! Kenapa kau ribut
sekali sih!? Apa kau tau seberapa lama aku bertahan hidup tanpa memakan apapun!!?
Dua tahun tau!? Dua tahun!! Aku perlu menjalani hidup tanpa semangkok ramen
chasuu sama sekali tau!!?”
“Bukan itu maksudku. Bagaimana
dengan uangnya…”
Saat kami sedang berada di
tengah-tengah perdebatan kami, Seto mengangkat tangannya tanpa suara.
Kalau kupikir-pikir, kami sama
sekali melupakan Seto yang sedari tadi berdiri bersama kami.
“Ada beberapa hal yang tak bisa
kupahami dari cerita kalian...”
Kata Seto yang terlihat pusing.
Memang kami bisa menjelaskan apa
yang terjadi kepadanya sekarang, tetapi akan lebih baik jika kami kembali ke
markas dulu. Kami bisa mengadakan sesi penjelasan besar-besaran di situ.
Itu yang kupikirkan, tetapi
sudah diduga dari seorang Seto, dia tidak membaca pikiran orang lain tanpa izin
seperti tadi.
“...Yah, mengesampingkan
pembicaraan kami, setelah ini situasinya akan menjadi sangat gawat. Jadi, kita
perlu pulang dulu, oke?”
Takane-chan dan Seto terdengar
mengatakan “Siap,” di waktu yang sama untuk membalas perkataanku.
“Ah, apa kau sanggup untuk melakukan
semua ini, Takane-chan? Soalnya kau baru saja mendapatkan tubuhmu kembali.”
Mendengar pertanyaanku,
Takane-chan mengeluarkan suara “Hmph!” sambil melipat tangannya.
“Tentu~! Aku juga ada janji
dengan Ayano-chan. Untuk sekarang, ayo kita hajar om-om jenggotan itu! Ya, aku
tidak akan puas sebelum aku bisa menghajarnya habis-habisan!!”
Bara api yang muncul di mata
Takane-chan membuatnya kelihatan seperti tidak memahami apa yang sedang
terjadi, tetapi melihat situasi kami, dialah orang yang paling bisa diandalkan
sekarang.
“Aku juga akan mencoba
menjelaskannya kepada Marry! Soalnya kau tau kan~ mungkin saja nanti kita akan
tertimpa masalah, tetapi aku percaya kita bisa melakukan sesuatu dengan
kekuatan semuanya!”
Seto menepuk punggungku selagi
ia mengatakan hal itu.
“Sakit, sakit... Yah~ sungguh~
aku merasa seperti orang bodoh sudah memikul semuanya sendirian...”
Setelah mengatakan itu kepada
diriku sendiri, entah bagaimana tanpa sengaja sebuah senyuman muncul di
wajahku.
Perlahan kami melangkah menuju
akhir dunia ini, tetapi tidak ada yang berubah.
Dulu aku salah kaprah dan
memikirkan [semuanya sudah berubah, aku kesepian!] tetapi pengalaman itu
bukanlah hal yang buruk.
“Heh~ Jadi gitu toh tampakmu
saat tersenyum.”
Takane-chan menatapku dengan
pandangan terhibur di matanya.
“Eh?”
“Yap~! Kano pemalu, jadi dia
jarang sekali tersenyum.”
Mendapatkan komentar seperti
itu, seketika wajahku mulai memanas.
“Oh~? Aku sudah melihatnya loh~
tidak berguna menyembunyikannya dengan kemampuanmu.”
Takane-chan tidak buang-buang
waktu saat membuat seringai jahat dan mempermainkanku.
“B-Bebal deh! Ayo, kita harus bergegas
pulang!”
“Siap! Urrrgh~ tapi aku lapar! Sebelum
pulang ayo kita makan! Makan bersama!”
“Tadi kan aku bilang aku sudah
makan ramen…”
… Kaka.
Apa kau melihat kami sekarang,
kaka?
Tempat tinggal kami sekarang
menjadi lebih sibuk dibandingkan yang dulu, tetapi kami tidak begitu berubah.
Dari hari ini dan ke depannya,
aku pikir kami tetap akan terus memainkan organisasi rahasia ini. Kami terlihat
seperti anak-anak, bukan?
Sebentar lagi aku akan
menceritakan semuanya ke [orang itu], lelaki yang sangat kaka sayangi.
Biarpun pada akhirnya aku
berpikir dia bukan orang yang berguna dan jujur kupikir dia agak menjijikkan,
dia adalah orang yang menarik.
Aku rasa jika itu dia, dia akan
pergi dan membawa kaka pulang dari renggutan ayah ataupun dunia itu. Ini
sungguh kisah yang aneh.
Oh iya. Nomor kaka... Nomor 0
sudah lama tidak digunakan.
Karena itu, saat kaka kembali
ayo kita mainkan permainan pahlawanan-pahlawanan konyol ini bersama semuanya!
Untuk itu, kumohon tunggulah
kami...
Kumohon tunggulah kami untuk
sebentar lagi saja, kaka!
Aaa uwuu. Kaori-sannn terima kasiii. Apa ini akhir dari volume nya?
BalasHapus