kepusingan I (part 1)
“Sedang apa aku di depan TV?”
Pertanyaan itu terlontar dari diriku
yang tanpa alasan terduduk di hadapan sebuah TV VCR. Aku memandang sekelilingku,
berkali-kali memastikan diriku sedang tidak berada dalam keadaan ling-lung dan semacamnya,
tetapi pemandangan mustahil di sekitarku tetap tidak berubah. Mungkinkah aku
sedang bermimpi? Namun, aku tak mengingat kapan aku tertidur.
…Lebih tepatnya, bisa dikatakan isi
kepalaku kosong melompong.
Sedang apa aku di sini dan kenapa
aku menonton TV? Saat aku mempertanyakan hal itu kepalaku tidak bisa memberikan
jawabannya. Ketika aku mencoba mengingat apa yang tadi kutonton, ingatanku
terhenti pada saat aku mengucapkan kata pertamaku tadi. Ingatanku begitu buram
bagaikan ada yang mengusutkan pita dari kaset memoriku.
Aku fokuskan mataku ke tempat di
mana TV itu tergeletak. Ada sesuatu yang seperti sebuah kredit penutup bergulir
perlahan di layarnya, diiringi dengan melodi statik yang terdengar seperti
permainan biola. Mungkin sebelumnya aku menonton suatu film.
…Aku? Menonton film? Jujur sulit
membayangkan orang yang tak hobi menonton film sepertiku melakukannya. Jikapun
aku melakukannya, film yang akan kutontoh adalah adaptasi anime bishoujo senshi
yang biasa tayang di minggu pagi. Selain itu, aku bukanlah orang yang begitu
sabarnya sampai aku tahan menonton kredit penutupnya sampai akhir. Sesenggang
apapun diriku aku takkan melakukan hal yang sangat membuang-buang waktu.
Mengumpulkan informasi yang
kuketahui, jika ada kredit penutup pastilah ada [isi] dari film tersebut. Aku
snagat yakin aku telah menonton [suatu] film, tetapi film apakah itu?
“Sial, ingatanku kacau balau. Sebenarnya
aku berada di mana sih?”
Pertama aku harus mencari informasi
mengenai tempat aku terdampar sekarang. Adakah suatu petunjuk yang bisa
memberikanku kejelasan tentang situasiku? Apapun boleh, mau itu benda mati,
hewan, tumbuhan, dan jika ada manusia akan lebih baik lagi.
Haa, andai saja aku tidak keluar
dari kamarku yang nyaman, aku pasti tidak akan terjebak di dalam tempat yang
aneh ini.
Sembari memikirkan hal itu, aku memeriksa
sekelilingku——
——dan pemandangan yang mejumpaiku
masihlah sesuatu yang membuatku menggosokkan mataku berkali-kali.
“Apakah ini nyata?”
Berapa kalipun aku mengedipkan
mataku, memeriksa seluruh tempat yang tertangkap penglihatanku, hanya ada
kekosong-lompongan yang menyambutku. Putih bersih tanpa noda, tidak ada
tanda-tanda adanya kehidupan maupun peradaban yang muncul dipandanganku. Tidak
ada birunya langit, hijaunya pohon, silaunya mentari ataupun sinar rembulan,
bahkan bayanganku sendiri tidak ada. Kiri, kanan, depan, belakang, atas, bawah
– [semua] yang ada di jarak pandangku terselimuti dengan putih yang tampak
kekal. Hanya satu set TV jadul yang pertama kali kulihat yang menemaniku di
sini.
Menemui pemandangan mustahil ini,
aku hanya bisa gemetar.
Dulu, saat aku masih bocah tengik,
hitamnya kegelapan malam membuatku takut. Namun, walau yang kulihat sekarang
sangat berkebalikan dengan hal itu, perasaan yang kurasakan sekarang sama-
tidak, lebih buruk dari itu.
Jika aku berada di dalam kelamnya
kegelapan, aku masih bisa berpikir, “mungkin aku tak bisa melihat, tapi pasti
ada harapan yang bisa kutemukan di suatu tempat,” dan bisa jadi aku memang
memiliki kesempatan. Namun, tidak ada apapun di sini. Putih, putih, putih,
kekosongan dari dunia ini hanya memberikanku kesan bahwa tidak ada harapan yang
bisa kugapai walau aku berusaha.
Keputus-asaan mulai meresap ke
sumsum tulangku. Ingatanku sebelum aku ke sini masih buram, dan tidak ada
seorang pun yang berada di sini. Bahkan jika aku memutuskan untuk beranjak dari
tempat ini, aku tidak tau bagaimana dan akan ke mana diriku menuju. Putih,
putih, putih, hamparan warna tak ternoda memusnahkan harapanku…
Apa-apaan dengan tempat ini?
Mustahil tempat seperti ini dibuat oleh alam, apalagi manusia. Sebuah ruang tak
terhingga yang tak berisi apa-apa. Satu-satunya penjelasan yang muncul di
kepalaku hanyalah… bahwa aku… sudah…
“Tidak mungkin itu terjadi, bukan?!
Sial…”
Aku menyeranah untuk mencegah
kesimpulan pahit yang mulai muncul di benakku.
Tentu, di saat seperti ini tidak ada
kepastian aku akan mendapat suatu jawaban walau aku memikirkannya sampai
kepalaku meletus. Namun, tak ada pilihan untukku selain mengais-ngais petunjuk
untuk menemukan jalan keluar, sekecil apapun kemungkinan aku mendapatkannya.
Adakah petunjuk di sekitarku? Apapun
yang bisa membantuku keluar dari tempat menyeramkan ini. Di manakah petunjuk
itu…
Akhirnya, hal yang bisa kuselidiki
hanyalah TV yang senantiasa menemaniku dalam kepanikanku. Harapan satu-satunya
di tempat ini. Aku tidak peduli berasal dari mana sumbernya, aku memerlukan
informasi.
Mataku yang penuh dengan harapan
menelaah seluk-beluk TV tersebut, tetapi hanya kekecewaan yang kudapat –
keputus-asaan yang kurasakan semakin pekat saat kumelihat informasi yang
terpampang di layar.
“Bahasa apa ini…?”
Tulisan-tulisan yang bergulir di
layar tersebut terdiri dari huruf-huruf yang tak bisa dipahami, bagaikan bahasa
dari berbagai macam negara berebut untuk bisa berada di sana dan akhirnya
bersatu padan dengan paksa. Berkali-kali kutatap tulisan tersebut agar bisa
memberiku sepeser pencerahan, tetapi walau kubalik, kuputar, atau kususun
dengan berbagai macam cara, tidak ada yang bisa menjadi perkataan yang masuk
akal. Padahal aku sudah belajar dan cukup menguasai berbagai macam bahasa,
tetapi itu sama sekali tidak membantuku sekarang.
Hembusan napas panjang keluar dari
hidungku. Terduduk dengan lesu, setiap kali aku memeriksa sekitarku harapanku
kembali hancur dengan ketiadaan manusia di tempat ini. Hanya ada sebuah TV tua
yang menemani kesendirianku.
Hal terakhir yang bisa kuingat
hanyalah diriku yang menyedihkan sedang bermain komputer di kamarnya yang
gelap…
Biarpun ingatanku agak kabur, aku
lega itu bukanlah hal yang tak terduga.
TV yang terus menggulirkan kredit
penutup ini… apa yang ingin disampaikan olehnya? Ketika aku kembali menatap ke
layar TV itu aku merasa, “Sudah jelas ada sesuatu yang [kutonton] sejak tadi,”
sepertinya sesuatu yang telah aku tonton sangat lucu, tetapi pada waktu yang
sama sangatlah sedih, dan sendu.
Serpihan-serpihan kenangan yang
tercerai-berai muncul dan lenyap dari pikiranku. Aku sangat yakin tadi aku
sudah menonton [isi] dari film yang menghadirkan kredit penutup ini. Namun,
bagaikan kepalaku diselimuti oleh belenggu kabut panas, aku sama sekali tidak
bisa mengingat [isi film] tersebut. Kenapa hal yang terpentinglah yang
kulupakan?
“Mungkinkah… itu sesuatu yang tak
ingin kuingat?”
Tepat saat aku mengutarakan hal
tersebut, sebuah baris yang tampak bisa kucerna muncul di antara tulisan-tulisan
tak masuk akal tersebut. Aku segera menghampiri TV tersebut, tidak ingin
kehilangan sesuatu yang bisa menjadi petunjuk. Ini adalah secercah harapan yang
tidak akan datang dengan mudahnya.
Tak bisa membendung semangatku, aku
menyuarakan tulisan yang bisa kubaca, “Apalah apalah… [Peran utama…. Kisaragi…
Shintaro]?”
Apakah ini kebetulan yang tak lucu?
Aku tak pernah bertemu dengan orang yang memiliki nama sama persis denganku.
Bagaimanapun, aku tak bisa mengelak bahwa memang namaku lah yang terpampang di
bawah gelar pemeran utama.
Peran utama… maksudnya protagonis
cerita? Tunggu, tunggu, sepanjang hidupku selama 18 tahun ini, aku tidak pernah
ikut audisi film! Walau kita memasukkan hal selain itu, seperti sandiwara
panggung, drama, atau bahkan anime… aku tidak ingat pernah ikut serta dalam
hal-hal itu!
Jika dalam satu juta banding satu
kemungkinan aku ikut andil dalam hal seperti itu, mustahil aku akan mendapat
peran utama. Jika aku boleh jujur, satu-satunya protagonis yang bisa kuperankan
adalah protagonis dari cerita kehidupanku sendiri.
Kehidupanku… sendiri…?
“…Tidak.”
Tidak, tidak, tidak, tidak! Itu
mustahil. Ini adalah mimpi, ini pasti adalah mimpi! Badan sedingin es ini, dan
perasaan lemas ini, semua pasti hanyalah sebuah mimpi buruk yang terlalu
realistis!
Benar, tidak mungkin hidupku telah
[berakhir]!
“Apa yang sebenarnya terjadi…?!
Sial!”
Berdiri dengan tiba-tiba, kakiku
berayun melayangkan TV di hadapanku. Aku takkan kaget jika aku mematahkan
kakiku dengan sebetapa kerasnya aku menendangnya… tetapi itu tidaklah terjadi. Ada
apa dengan badanku? Mengapa aku tidak terluka sama sekali, bahkan tidak ada
bengkak yang muncul di kakiku.
Seram sekali. Kepalaku pusing.
Jiwaku terguncang. Seharusnya tidak mungkin ini terjadi… bahkan saat aku merasa
aku akan menangis, tidak ada air mata yang menetes dari kelopak mataku.
Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa
aku tidak bisa mengingat apapun? Apakah aku benar-benar [Kisaragi Shintaro]?
Aku tidak peduli siapapun itu,
seseorang jawab aku!
Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Apakah aku akan lenyap dengan begitu saja?
Apakah semuanya akan berakhir di sini? Atau ini akan terus berlanjut
selamanya? Akankah aku terus sendirian di kehampaan ini, selamanya…?
…Ah, aku tidak menginginkan ini.
Mimpi ini sudah kelewatan batasnya.
Aku merasa seperti otakku akan
meledak.
Andai ini sebuah mimpi, bangunkanlah
aku… cepat…
“…Tenangkan dirimu, Shintaro-kun.”
…Sebuah suara.
lanjut minn,,, semangatt ❤(ӦvӦ。)❤(ӦvӦ。)
BalasHapusMakasih kaorii masih lanjut ngetranslate❤❤
BalasHapusSemangattt
Jutlanjuuuttt!!! Kaori!!!
BalasHapus